Kedelapan : Berbakti Kepada Orangtua Merupakan Sebab Diangkatnya Kesulitan dan Kesedihan.
خرج ثلاثة (ممن كان قبلكم) يمشون فأصابهم المطر فدخلوا في غار في جبل فانحطت عليهم صخرة (من الجبل فسدت عليهم الغار) قال فقال بعضهم لبعض ادعوا الله بأفضل عمل عملتموه (انظروا أعمالا عملتموها صالحة لله فادعوا الله بها لعله يفرجها عنكم) فقال أحدهم اللهم إني كان لي أبوان شيخان كبيران (ولي صِبْيَةٌ صغار) فكنت أخرج فأرعى ثم أجيء فأحلب فأجيء بالحلاب فآتي به أبوي فيشربان ثم أسقي الصبية وأهلي وامرأتي فاحتبست ليلة فجئت فإذا هما نائمان قال (فقمت عند رؤوسهما أكره أن أوقظهما وأكره أن أسقي الصبية) فكرهت أن أوقظهما والصبية يتضاغون عند رجلي (فلبثت والقدح على يدي أنتظر استيقاظهما) فلم يزل ذلك دأبي ودأبهما حتى طلع الفجر اللهم إن كنت تعلم أني فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا فرجة نرى منها السماء قال ففرج عنهم (فرأوا السماء)…الحديث
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda ((Tiga orang (dari orang-orang terdahulu sebelum kalian) keluar berjalan lalu turunlah hujan menimpa mereka, maka mereka lalu masuk ke dalam goa di sebuah gunung. Lalu jatuhlah sebuah batu (dari gunung hingga menutupi mulut goa), lalu sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “Berdoalah kepada Allah dengan amalan yang terbaik yang pernah kalian amalkan!” (lihatlah amalan-amalan kalian yang telah kalian lakukan ikhlaslah karena Allah maka berdoalah dengan amalan-amalan sholeh tersebut semoga Allah membuka batu besar tersebut dari kalian). Maka salah seorang diantara mereka berkata, “Ya Allah aku memiliki dua orangtuaku yang telah tua (dan aku memiliki anak-anak kecil), (pada sauatu waktu) aku keluar untuk menggembala lalu aku kembali, lalu aku memerah susu lalu aku datang membawa susu kepada mereka berdua lalu mereka berdua minum kemudian aku memberi minum anak-anakku, keluargaku[1], dan istriku. Pada suatu malam aku tertahan (terlambat) dan ternyata mereka berdua telah tertidur (maka akupun berdiri di dekat kepala mereka berdua aku tidak ingin membangunkan mereka berdua dan aku tidak ingin memberi minum anak-anakku), maka aku tidak ingin membangunkan mereka berdua padahal anak-anaku berteriak-teriak di kedua kakiku (dan aku tetap diam di tempat dan gelas berada di tanganku, aku menunggu mereka berdua bagnun dari tidur mereka) dan demikian keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharap wajahMu maka bukalah bagi kami celah hingga kami bisa melihat langit”, maka dibukakan bagi mereka dan mereka bisa melihat langit….[2]
Lihatlah bagaimana orang ini telah mendahulukan kepentingan kedua orangtuanya dari pada kepentingan anak-anaknya, karib kerabatnya, dan istrinya. Bahkan anak-anaknya yang masih kecil menangis-nangis karena kelaparan di kakinya tidak ia perdulikan demi kedua orangtuanya. Oleh karenanya hendaknya mereka yang telah mendahulukan ketaatan kepada istrinya di atas ketaatan kepada ibunya hendaknya merenungkan hadits ini…, apalagi yang sampai rela mengeluarkan ibunya dari rumahnya karena taat kepada istrinya…
عن أبي الدرداء أن رجلا أتاه فقال إن لي امرأة وإن أمي تأمرني بطلاقها قال أبو الدرداء سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأَضِعْ ذلك الباب أو احفظْهُ
Dari Abud Darda’ bahwasanya seorang datang kepadanya lalu berkata, “Aku memiliki seorang istri dan ibuku memintaku untuk menceraikannya”, Abud Darda’ berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, ((Orangtua[3] adalah pintu surga yang paling tengah, jika kau ingin maka sia-saiakanlah pintu itu atau jagalah pintu itu))[4]
Berkata Al-Qodhi, “((Pintu surga yang paling tengah)) yaitu pintu yang paling baik dan yang paling tinggi, dan maknanya adalah “Sebaik-baik perkara yang bisa mengantarkan untuk masuk surga dan mengantarkan sampai kepada tingkatan surga yang tinggi yaitu taat kepada oangtua dan memperhatikan orangtua”[5]
Ada ulama yang berkata, “Surga itu memiliki pintu-pintu dan pintu yang baik dimasuki adalah yang paling tengah dan sebab untuk memasuki pintu yang tengah itu adalah menjaga hak-hak orangtua”[6]
Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Orangtua
Allah ta,ala berfirman
}يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ{ (البقرة:215)
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)”[7]
Ijma’ ulama bahwa wajib atas anak yang lapang (hartanya) untuk menanggung kehidupan kedua orangtua yang sulit kehidupannya (miskin).[8]
Berkata Syaikh Utsaimin, “…Wajib bagi sang anak untuk berbuat baik kepada orangtua dengan mengorbankan hartanya yaitu dengan memberi mereka nafkah untuk seluruh yang mereka butuhkan, seperti pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal jika ia mampu untuk melakukannya”[9]
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang tidak mampu untuk bekerja dan ia memiliki seorang istri dan anak-anak maka apakah boleh bagi anaknya yang lapang (hartanya) untuk menafkahinya, istrinya, dan saudara-saudara yang masih kecil?, maka beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah, benar wajib bagi seorang anak yang lapang hartanya untuk menafkahi ayahnya, istri ayahnya, saudara-saudaranya yang masih kecil, dan jika ia tidak menafkahi mereka maka ia adalah anak yang durhaka kepada ayahnya, anak yang telah memutuskan silaturahmi, anak yang berhak mendapatkan adzab Allah di dunia dan di akhirat, Wallahu A’lam”[10]
Hukum ayah yang mengambil harta anaknya (tanpa idzin anaknya)
Ayah memiliki dua kondisi:
Pertama, sang ayah dalam keadaan butuh untuk mengambil harta anaknya, maka jika dalam keadaan seperti ini maka boleh bagi sang ayah untuk mengambil harta anaknya karena wajib bagi sang anak untuk menafkahi ayahnya berdasarkan kesepakatan ulama.[11]
Kedua, jika sang ayah tidak dalam keadaan butuh untuk mengambil harta anaknya, maka pada kondisi yang kedua ini ada dua pendapat di kalangan para ulama
Pendapat pertama
Pendapat yang dipilih oleh Imam Ahmad yaitu boleh bagi sang ayah untuk mengambil hartanya sesukanya dalam keadaan butuh ataupun tidak butuh, baik sedikit ataupun banyak dengan tiga syarat[12]:
1. Tidak memberikan mudharat bagi sang anak dan tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan sang anak, berdasarkan hadits ولا ضرار ((Dan tidak boleh memberi mudhorot kepada orang lain)), dan karena kebutuhan seseorang lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya maka kebutuhannya lebih utama untuk didahulukan daripada memenuhi keinginan ayahnya[13].
2. Tidak mengambil harta anaknya kemudian diberikan kepada anaknya yang lain karena jika harta tersebut asalnya milik sang ayah maka tidak boleh bagi sang ayah untuk memberikan hartanya tersebut khusus bagi sebagian anak-anaknya[14], maka lebih tidak boleh lagi jika harta tersebut ia ambil dari sebagian anak-anaknya lalu ia berikan kepada yang lainnya[15]
3. Sang ayah tidak menghambur-hamburkan harta tersebut dan tidak berbuat mubadzir. Berkata Al-Khotthobi tatakala menjelaskan makna hadits إن أبي اجتاح مالي ((Dan Ayahku telah menghabiskan hartaku)), “Adapun jika maknanya adalah harta sang anak boleh diambil oleh sang ayah hingga menghabiskan harta sang anak lalu sang ayah menghabiskannya dengan royal dan mubadzir maka aku tidak mengetahui ada seorangpun yang berpendapat demikian, Wallhu A’lam”[16]
Dalil pendapat pertama ini adalah firman Allah
لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (QS. 24:61)
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Kemudian Allah menyebut rumah-rumah seluruh karib kerabat kacuali anak-anak Allah tidak menyebut mereka karena mereka telah termasuk dalam firmanNya { بُيُوتِكُمْ }, maka tatkala rumah-rumah anak-anak mereka seperti rumah-rumah mereka sendiri maka Allah tidak menyebutkan rumah-rumah anak-anak mereka” [17]
Berkata Al-Qurthubi, “Disebutkan rumah-rumah karib kerabat dan tidak disebutkan rumah anak-anak, maka para ahli tafsir mengatakan hal ini karena rumah anak-anak masuk dalam firman Allah { بُيُوتِكُمْ } (rumah-rumah kalian) karena rumah anak seseorang adalah rumah orang itu juga (ramah anak adalah rumah ayahnya –pen)”[18]
Berkata Ibnu Katsir, “Oleh karena itu ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat bahwa harta anak kedudukannya seperti harta ayahnya”[19]
Berkata An-Nahhas, “Pernyataan ini hanyalah sekedar penafsiran Al-Qur’an tanpa dalil bahkan yang lebih utama yang ditinjukan oleh dzhohir ayat ini adalah hukum anak menyelisihi hukum para kerabat (yang disebutkan dalam ayat di atas –pen)”[20]
Berkata Asy-Syaukani, “Dan jawaban atas kritikan ini (perkataan An-Nahhas) bahwasanya kedudukan anak jika ditinjau dengan hubungannya dengan ayah tidaklah lebih kurang dari kedudukan ayah jika ditinjau dengan hubungannya terhadap anak, bahkan para ayah memiliki tambahan kekhususan pada harta anak-anak mereka berdasarkan hadits ((Engkau dan hartamu bagi ayahmu)) dan hadits ((Anak seseorang adalah hasil usaha orang tersebut)), kemudian Allah telah menyebutkan rumah-rumah para saudara laki-laki dan saudara wanita, bahkan rumah-rumah pakde-pakde, para bibi maka bagaimana Allah menyatakan tidak mengapa bagi seseorang untuk makan dirumah mereka lantas Allah tidak membolehkan untuk makan di rumah anaknya?”[21]
عن عائشة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن أطيب ما أكلتم من كسبكم وإن أولادكم من كسبكم
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah bersabda ((Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari hasil usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian dari usaha kalian))[22]
عن جابر بن عبد الله أن رجلا قال يا رسول الله إن لي مالا وولدا وإن أبي يريد أن يجتاح[23] مالي فقال أنت ومالك لأبيك
Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak, dan ayahku ingin untuk mengambil seluruh hartaku[24]”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, ((Engkau dan hartamu bagi ayahmu))[25]
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال إن أبي اجتاح مالي فقال أنت ومالك لأبيك وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن أولادكم من أطيب كسبكم فكلوا من أموالهم
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku telah mengambil seluruh hartaku”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, ((Engkau dan hartamu bagi ayahmu)), dan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, ((Sesungguhnya anak-anak kalian adalah sebaik-baik hasil usaha kalian maka makanlah dari harta mereka))[26]
Diriwayatkan bahwasanya Masruq menikahkan putrinya dengan mahar sepuluh ribu (dinar atau dirham-pen) kemudian ia mengambil mahar tersebut dan ia infakkan di jalan Allah[27]
Pendapat kedua
Pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i, Malik dan Abu Hanifah yaitu tidak boleh bagi sang ayah untuk mengambil harta anaknya kecuali sesuai kadar kebutuhannya. Dalil pendapat kedua ini adalah sebagai berikut:
Sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam فإن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام ((Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian))[28], dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menyatakan bahwa harta seseorang tidak boleh diambil oleh orang lain siapapun juga orangnya itu termasuk ayah, dan Rasulullah tidak mengecualikan seorangpun.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam juga bersabda
كل أحد أحق بكسبه من والده وولده والناس أجمعين
((Setiap orang lebih berhak dengan hartanya sendiri daripada ayahnya, anaknya, dan dari seluruh manusia))[29]
Hadits ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya hanya saja hadits ini lemah[30]
Riwayat Al-Hakim dari jalan Hammad bi Abi Sulaiman[31] dengan lafal tambahan
إن أولادكم هبة الله لكم يهب لمن يشاء إناثا ويهب لمن يشاء الذكور فهم وأموالهم لكم إذا احتجتم إليها
((Sesungguhnya anak-anak kalian adalah pemberian dari Allah bagi kalian, Allah memberikan kepada siapa yang Ia kehendaki anak-anak wanita dan Allah memberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki anak-anak pria maka mereka (anak-anak kalian) dan harta anak-anak kalian adalah bagi kalian jika kalian membutuhkannya))[32]
Namun tambahan lafal إذا احتجتم إليها ((jika kalian membutuhkannya)) adalah tambahan yang munkar sebagaimana perkataan Abu Dawud, “Hammad bin Abi Sulaiman menambah dengan lafal ((إذا احتجتم إليها)) dan tambahan itu munkar”[33]
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, karena dalil pendapat yang kedua sifatnya umum dan dalil pendapat yang pertama sifatnya khusus sehingga mengkhususkan dalil pendapat kedua. Wallhu A’lam
Faedah-faedah yang diambil dari hadits أنت ومالك لأبيك ((Engkau dan hartamu bagi ayahmu)):
1. Berkata Ibnu Ruslan, “Huruf Lam (dalam hadits أنت ومالك لأبيك) adalah menunjukan akan kebolehan (للإباحة) bukan untuk pemilikan (للتمليك) karena harta sang anak adalah milik sang anak dan kewajiban membayar zakat merupakan kewajiban sang anak (bukan kewajiban sang ayah) dan harta sang anak tersebut nantinya akan diwarisi oleh ahli waris sang anak”[34] Oleh karena itu sang anak tidaklah menjadi budak bagi ayahnya. Demikian juga sang ayah mewarisi seperenam dari harta anaknya tatkala sang anak meninggal jika sang anak memiliki putra. Jika memang huruf lam dalam hadits ini artinya untuk pemilikan (tamlik) maka tentunya sang ayah akan mewarisi seluruh harta anaknya[35].
2. Oleh karena poin pertama maka tidak boleh bagi sang ayah untuk bertasorruf[36] pada harta anaknya selama belum di tangan (dimiliki) sang ayah. Imam Ahmad berkata, “Tidak boleh bagi seseorang membebaskan budak milik anaknya sebelum budak itu berpindah ke tangannya”[37]
3. Hadits ini menunjukan bahwa seseong tidak boleh mengambil harta orang lain kecuali ayah mengambil harta anaknya karena hadits ini hanya menyebutkan ayah, dan tidak bisa ayah diqiaskan dengan karib kerabat yang lain. Hak waris seorang ayah dari anaknya tidak bisa jatuh, ayah memiliki hak wali atas anaknya jika sang anak masih belum dewasa, dan kasih sayangnya sempurna kepada anaknya. Sifat-sifat ini tidak terkumpul pada kerabat keluarga yang lain. Ibu tidak bisa diqiaskan dengan ayah dalam hal bolehnya mengambil harta sang anak karena ia tidak memiliki hak wali atas anaknya (bahkan sang anak bisa menjadi wali atas sang ibu), demikian juga kakek bisa terhalangi dalam warisan dan demikian juga terhalangi dalam kewalian tatkala pernikahan, kasih sayang kurang pada cucunya dibandingkan kasih sayang ayah kepada anaknya. Jika ibu dan kakek tidak bisa diqiaskan dengan ayah maka kerabat keluarga yang lain lebih utama untuk tidak bisa diqiyaskan.[38]
4. Tidak boleh bagi sang anak untuk menagih hutang ayahnya kepadanya, dan ini adalah pendapat Hanabilah, Az-Zubair bin Bakkar dan merupakan konsekuensi dari perkataan Sufyan bin ‘Uyainah[39], kecuali jika sang ayah meninggal terlebih dahulu sebelum sang anak. Jika sang anak meninggal terlebih dahulu maka berpindahlah hak harta (yang dihutangkan sang anak kepada orang lain) kepada para pewarisnya kecuali hutang ayah sang anak. Karena sang anak (yang mewariskan) tidak memiliki hak untuk menagih apalagi yang diwariskan. Namun jika sang ayah meninggal terlebih dahulu maka kembalilah hutang ayahnya masuk dalam harta warisnya, karena hutangnya tidak jatuh hanya saja tidak ditagih.[40]
5. Berkata Ibnu Taimiyah, “Ayah yang kafir tidak berhak untuk memiliki harta anaknya yang muslim, terlebih lagi jika sang anak dahulunya kafir kemudian masuk Islam”, beliau juga berkata, “Dan yang lebih mendekati kebenaran yaitu seorang ayah yang muslim tidak berhak untuk mengambil sesuatupun dari harta anaknya yang kafir”[41]
6. Persaksian ayah untuk mendukung anaknya demikian juga sebaliknya tidak diterima, karena seakan-akan ia telah bersaksi untuk mendukung dirinya sendiri, ini merupakan pendapat Imam Syafi’i, Malik , dan Abu Hanifah dan satu riwayat dari Imam Ahmad[42]
7. Seorang ayah tidak bisa diqisos jika melakukan kriminal terhadap anaknya (misalnya membunuh anaknya, atau mencuri harta anaknya, atau memotong tangan anaknya, dan bentuk-bentuk kriminal lainnya) karena qisos tertolak dengan adanya syubhat, yaitu dengan penunjukan hadits ((Engkau dan hartamu bagi ayahmu))[43]
Bersambung…
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Yaitu karib kerabat (Umdatul Qori 12/24)
[2] HR Al-Bukhari 2/771 no 2102 bab إذا اشترى شيئا لغيره بغير إذنه فرضي, dan yang di dalam kurung dari HR Al-Bukhari 2/793 no 2152 bab من استأجر أجيرا فترك أجره فعمل فيه المستأجر فزاد أو من عمل في مال غيره فاستفضل dan HR Al-Bukhari 2/821 no 2208 bab إذا زرع بمال قوم بغير إذنهم وكان في ذلك صلاح لهم
Kelanjutan hadits ini sebagai berikut:
وقال الآخر اللهم إن كنت تعلم أني كنت أحب امرأة من بنات عمي كأشد ما يحب الرجل النساء فقالت لا تنال ذلك منها حتى تعطيها مائة دينار فسعيت فيها حتى جمعتها فلما قعدت بين رجليها قالت اتق الله ولا تفض الخاتم إلا بحقه فقمت وتركتها فإن كنت تعلم أني فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا فرجة قال ففرج عنهم الثلثين وقال الآخر اللهم إن كنت تعلم أني استأجرت أجيرا بِفَرَقٍ من ذُرَةٍ فأعطيته وأبى ذاك أن يأخذ فعمدت إلى ذلك الفرق فزرعته حتى اشتريت منه بقرا وراعيها ثم جاء فقال يا عبد الله أعطني حقي فقلت انطلق إلى تلك البقر وراعيها فإنها لك فقال أتستهزئ بي قال فقلت ما أستهزئ بك ولكنها لك اللهم إن كنت تعلم أني فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا فكشف عنهم
Dan berkata yang lainnya, “Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku pernah mencintai seorang wanita yang merupakan anak pamanku dengan cinta yang sangat amat mendalam dari seorang lelaki kepada wanita, lalu ia berkata, “Engkau tidak akan memperoleh apa yang kau inginkan hingga engkau memberikan kepadaku 100 dinar”, maka akupun berusaha untuk mendapatakannya hingga akhirnya aku mengumpulkannya. Tatkala aku berada diantara kedua kakinya (kinayah siap untuk menjima’inya) lalu ia berkata, “Takutlah kepada Allah dan janganlah engkau membuka cincin kecuali dengan haknya (yaitu jangalah engkau membuka keperawanan kecuali dengan pernikahan-pen)”, maka akupun berdiri dan aku tinggalkan dia, jika Engkau tahu bahwasanya aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajahMu maka bukalah celah bagi kami”, maka terbukalah bagi mereka 2/3 pintu goa. Kemudian yang lain (yang ketiga) berkata, “Ya Allah jika Engkau mengetahui aku pernah menyewa seorang pekerja dengan upah satu faraq jagung (satu farq yaitu tiga sho’ –Umdatul Qori 12/25-pen) lalu aku berikan kepadanya upahnya tersebut namun ia enggan untuk mengambilnya, maka akupun mengambil upahnya tersebut dan aku tanam jagung tersebut hingga akhirnya aku membeli sapi-sapi dan penggembalanya. Kemudian pekerja itupun datang dan berkata “Wahai hamba Allah berikanlah upahku!”, aku berkata, “Pergilah ke sapi-sapi tersebut dan penggembalanya, itu adalah milikmu”, ia berkata, “Apakah engkau mengejek aku?”, aku berkata, “Tidak, aku tidak mengejekmu tapi semua itu adalah milikmu”, Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwasanya aku melakukannya karena mengharapkan wajahMu maka bukakanlah bagi kami!”, maka terbukalah mulut gua
[3] Berkata Al-Mubarokfuri menjelaskan lafal hadits الوالد ((ayah)) namun maksudnya adalah jenis orangtua, atau jika yang dimaksud dalam hadits memang adalah ((ayah)) maka hukum ibu lebih kuat dan lebih utama. (أَضِعْ) yaitu fiil amr dari lafal (الإضَاعَة) yaitu dengan meninggalkan pintu tengah surga tersebut atau (احفظه) yaitu dengan selalu berusaha untuk mendapatkannya (Tuhfatul Ahwadzi 6/21)
[4] HR At-Tirmidzi 4/311 no 1900, Ibnu Majah 2/1208 no 3663, 1/675 no 2089 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[5] Tuhfatul Ahwadzi 6/21
[6] Tuhfatul Ahwadzi 6/21
[7] Tafsir As-Sa’di 1/96
[8] Sebagaimana dihikayatkan oleh penulis Al-Bahr (Tuhfatul Ahwadzi 4/494)
[9] Fatwa Ibnu Utsaimin jilid 7, Al-Washoya Al-‘Asyr, wasiat yang kedua
[10] Majmu’ Fatawa 34/101 dan 4/189
[11] Berkata At-Thibhi, “Nafkah kedua orangtua wajib atas anak jika kedua orangtua dalam kedaaan butuh dan tidak mampu untuk berusaha, ini menurut Imam Asy-Syafi’i adapun selaian beliau tidak mempersyaratkan hal ini (tidak mempersyaratkan butuh dan tidak mampunya kedua orangtua)” (Aunul Ma’bud 9/324)
[12] Syarat pertama dan kedua disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni 5/395, adapun syarat ketiga disebutkan oleh Al-Khotthobi
[13] Al-Mubdi’ 5/382. Berkata Syaikh Sholeh Al-Munajjid, “Seorang ayah tidak boleh mengambil rumah anaknya, kendaraan anaknya, nafkah anak-anak dan istrinya, karena ini semua berkaitan dengan kebutuhan anaknya”. Berkata Syaikh Sholeh Al-Munajjid, Aku pernah bertanya kepada Syaikh Al-Utsaimin, jika seorang anak ingin membangun rumah (dan dia masih mengontrak rumah) dan ayahnya meminta uangnya untuk menikah lagi maka apa yang wajib bagi sang anak?, Syaikh Utsaimin menjawab, “Hendaknya sang anak mendahulukan kepentingan ayahnya apalagi sang ayah butuh untuk menikah” (Dari ceramah beliau yang berjudul “Batasan ketaatan seorang anak kepada kedua orangtua”).
[14] Sebagaimana dalam hadits Nu’man bin Basyir
ن أباه أتى به إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إني نحلت ابني هذا غلاما فقال أكل ولدك نحلت مثله قال لا قال فارجعه
bahwasanya ayahnya menemui Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya aku telah menghadiahkan kepada anakku ini (yaitu Nu’man) seorang budak”, maka Rasulullah berkata, “Apakah engkau menghadiahkan kepada seluruh anakmu sebagaimana engkau menghadiahkan kepada Nu’man?”, ayahnya berkata, “Tidak”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Kembalikanlah hadiah itu (yang telah kau berikan kepada Nu’man)” (HR Al-Bukhari 2/913 no 2446 dan Muslim 3/1241 no 1623)
[15] Syarat kedua ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam riwayat Isma’il bin Sa’id (Al-Mugni 5/395)
[16] An-Nihayah fi goribil hadits 1/311
[17] Al-Mugni 5/395
[18] Tafsir Al-Qurthubi 12/314
[19] Tafsir Ibnu Katsir 3/306
[20] Tafsir Al-Qurthubi 12/314
[21] Fathul Qodir 4/53
[22] HR Ibnu Majah 2/768 no 2290 bab ما للرجل من مال ولده, At-Thirmidzi 3/639 no 1358 bab ما جاء أن الوالد يأخذ من مال ولده
[23] Yaitu (يستأصله) ingin mengambil hartaku hingga habis (An-Nihayah fi goribil hadits 1/311)
[24] Berkata Al-Khotthobi, “…Bahwasanya ukuran harta yang dibutuhkan untuk menafkahi ayahnya sangatlah banyak yang harta sang anak tidak mencukupi kecuali sang ayah mengambil seluruh harta sang anak, maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi sang anak dan berkata, “Engkau dan hartamu bagi ayahmu”, yang maknanya yaitu “Jika ayahmu ingin mengambil seluruh hartamu maka ia hanyalah mengambil sebatas kebutuhannya, dan jika engkau tidak memiliki harta dan engkau punya pekerjaan maka wajib bagi engkau untuk berusaha dan menafkahi ayahmu”. (An-Nihayah fi goribil hadits 1/311)
[25] HR Ibnu Majah 2/769 no 2291 bab ما للرجل من مال ولده , berkata Ibnul Qotthon, “Isnadnya shahih”, berkata Al-Mundziri, “Para perawinya tsiqoot” (Umdatl Qori 12/142), dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[26] HR Ibnu Majah 2/769 no 2292 bab ما للرجل من مال ولده, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. Hadits ini juga diriwayatkan dalam Al-Muntqo Libnil Jarud 1/249 no 995 dengan lafal أتى أعرابي رسول الله (Seorang arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam) dan di akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda فكلوه هنيئا ((Makanlah dengan senang hati)). Adapun dalam lafal Imam Ahmad (Al-Musnad 2/204) أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم يخاصم أباه فقال يا رسول الله ان هذا قد احتاج إلى مالي (Seseorang menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dalam keadaan mendebati ayahnya seraya berkata, “Wahai Rasulullah orang ini telah mengambil habis hartaku”
[27] Al-Mugni 5/395
[28] HR Al-Bukhari 2/619 dan Muslim 2/889
[29] Disamping hadits ini mursal hadits ini juga tidak menunjukan bahwsanya sang anak lebih berhak dengan hartanya diabandingkan ayahnya yaitu pada hartanya yang berkaitan dengan kebutuhannya. Jadi hadits ini tidak menafikan hak ayah secara mutlak (Al-Mugni 5/395)
[30] Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho’ifah 1/543 no 359
[31] Sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalan At-Talkhis Al-Habir 4/9
[32] Al-Mustadrok 2/312 no 3123, dan tambahan ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah 6/137 no 2564)
[33] Sunan Abu Dawud 3/289 hadits no 3529
[34] Tuhfatul Ahwadzi 4/493
[35] Tuhfatul Ahwadzi 4/494
[36] Yaitu mejual, menghadiahkan, meminjamkan, dan lain sebagainya
[37] Al-Mugni 5/396
[38] Al-Mugni 5/397
[39] Adapun pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i boleh bagi sang anak untuk menagih hutang ayahnya karena hutangnya jelas maka boleh untuk ditagih (Al-Mugni 5/396)
[40] Al-Mugni 5/396
[41] Al-Inshof 7/155
[42] Al-Mugni 10/186
[43] Ahkamul Qur’an lil Jassos 1/179